Situs Sejarah - Benteng Putri Hijau, Deli Serdang, Sumut

Di lokasi yang disebut dengan Benteng Putri Hijau telah didapatkan lapisan budaya masa lalu yang mengandung serangkaian data arkeologis, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Data-data arkeologis tersebut merupakan bukti adanya aktivitas budaya yang penting pada masa lalu di lokasi tersebut. Pelaksanaan penggalian penyelamatan yang dilakukan oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala Banda Aceh, Balai Arkeologi Medan serta instansi terkait di daerah pada tahun 2008 berhasil membuka beberapa kotak gali untuk test pit (TP).
Test pit yang dilakukan menghasilkan beberapa tinggalan artefaktual, di antaranya adalah: peralatan batu (sumatralith) yang menggunakan bahan batuan beku. Indikasi pembentukan yang dilakukan oleh manusia antara lain terdapat jejak-jejak pemangkasan (retus) pada saat pembentukan maupun penggunaanya. Alat-alat batu (sumatralith) yang ditemukan pada TP I berjumlah dua buah, yang pertama berukuran panjang 14 cm, lebar 7 cm, tebal pangkal 4 cm dan tebal ujung 2,7 cm. Alat batu kedua dan berukuran panjang 13,5 cm, lebar 9,13 cm, tebal pangkal 4,6 cm dan tebal ujung 2,6 cm. Alat batu ketiga ditemukan di TP II, berukuran panjang 12,9 cm, lebar 8,5 cm, tebal pangkal 3,6 cm dan tebal ujung 1,5 cm.
Jenis temuan kedua adalah peluru senjata api berbahan timah, berbentuk bulat dengan diameter 1,5 cm dengan berat 23 gram. Peluru tersebut merupakan peluru laras panjang yang umum digunakan pada abad ke 15-ke 19 M, yang dikenal dengan nama senapan musket atau tĪfenk (dalam bahasa Turki).
Jenis temuan ketiga, yang ditemukan pada saat penggalian ataupun pada saat survey adalah keramik. Melalui penggalian yang dilakukan di situs tersebut didapatkan sebanyak 19 fragmen keramik, sisanya, sebanyak 35 buah didapat melalui survey permukaan. Analisis atas bentuk, bahan dan pola hias yang terdapat pada temuan keramik hasil penggalian sebagian menunjukkan pertanggalan penggunaan situs tersebut adalah berkisar pada abad 12-14 M (sebanyak 8 keping), abad 16-17 M (sebanyak 3 keping) dan masing masing satu keping berasal dari abad lebih tua, yaitu abad 9-10 M dan yang termuda berasal dari abad 17-18 M. Adapun temuan yang didapat dari survey permukaan didominasi temuan yang berasal dari abad 17-18 M, disusul temuan berasal dari abad 12-14 M.
Advertisement
Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”, Tuanku Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de Raet menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke Museum Pusat di Jakarta dengan kapal Baron Sloet v.d. Beele. Pada meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara Melayu/Jawi yang berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 tidak jelas, namun apabila 03 berarti tahun 1003 Hijriyah, berarti cocok dengan 1539 Masehi, yang menurut Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam bahasa Aceh dapat berarti: “Dalam Tahun ….03, di tempat saya menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa Melayu “Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti pertulisan tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah didapatkan bukti tentang nama Haru.
Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan bahwa di situs tersebut pernah terjadi perang atau setidaknya senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Aru (Deli?) maka senjata api tersebut kemungkinan berasal dari Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang itu umum digunakan pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau tufenk. Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara asal pembuatnya (Turki) oleh tentara Aceh atau sepasukan tentara Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang wilayah kekuasaan kerajaan di Deli Tua (BP3 Aceh, 2008:17).
Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang diperkirakan berasal dari abad ke XVII. Keberadaan mata uang Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, mengingat keberadaan Kesultanan Aceh pada waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan mata uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil apabila koin-koin yang beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.


