Merasa Diperlakukan Diskriminatif, Seorang Pedagang PKL Mencari Keadilan

Pangkalpinang - Bingung itulah yang memenuhi fikiran Wawan, seorang PKL di kawasan Jalan Ahmad Yani Pasar Pagi Pangkalpinang. Selasa (25/10/22) sore, Tim dari Polisi Pamong Praja Kota Pangkalpinang meratakan lapak yang menjadi tempat Wawan mencari nafkah. Wawan bingung, lantaran hanya lapak buah miliknya yang dieksekusi pasca terima Surat Peringatan (SP) sejak September hingga pertengahan Oktober lalu. Diduga lokasi lapak Wawan dianggap mengganggu pemandangan penghuni rumah dinas (Rumdin) Kejari Pangkalpinang. Sehingga dari sekian banyak lapak PKL yang berbaris di Jalan A. Yani Pasar Pagi tersebut, hanya milik Wawan yang dieksekusi.
Kepada wartawan, perantauan asal Palembang Sumatera Selatan ini merasa dirinya diperlakukan dengan tidak adil oleh tindakan pihak Pol PP. Pasalnya, jika mengacu dari kutipan pasal-pasal dalam surat peringatan yang diterimanya, semestinya semua lapak PKL yang satu barisan dengan lapaknya, semua harus dieksekusi. Apalagi menurut Wawan, SP itu tak hanya dirinya yang menerima. Akan tetapi juga pedagang-pedagang lainnya.
Dalam SP yang pertama, sampai yang terakhir tanggal 17 Oktober 2022 yang diperlihatkan Wawan kepada wartawan, mencantumkan Perda nomor 7 tahun 2019 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, pada Pasal 6 (1) huruf a, berbunyi “Setiap orang dilarang menggunakan jalan dan trotoar yang tidak sesuai dengan fungsinya.” Kemudian pada Pasal 6 (1) huruf c berbunyi “mendirikan kios, tenda atau bangunan lainnya yang dapat mengakbatkan berubahnya fungsi jalan dan trotoar.” Mengacu dari petikan Perda nomor 7 tahun 2019 ini lah yang kemudian memicu kebingungan Wawan, lantaran terkesan diskriminatif.
“Pertama kali pak Taufik (pedagang buah) memfoto lapak kita, katanya disuruh pak Kasat Pol PP. Taufik menyampaikan alasan Kasat Pol PP, lokasi ini berantakan dan ada laporan dari bapak belakang itu (Jaksa). Yang mana kemudian sampai lah laporan ke Kasat Pol PP, supaya membongkar lapak saya,” kenang Wawan saat curhat kepada Wartawan Kamis (27/10/22) kemarin.
Advertisement
Wawan mengatakan bahwa sebelum pembokaran, pihak Pol PP memberi waktu 1 minggu untuknya agar membongkar sendiri. Yang disesalkan Wawan, dirinya merasa telah memberikan uang untuk ‘sewa’ tempat mendirikan lapak di tempat tersebut sebesar Rp 300 ribu per bulan. Tak hanya itu, pungutan harian sebesar Rp 2000.
Saya cuma heran, dan merasa diperlakukan tidak adil pak, kenapa yang dibongkar kok hanya punya saya pak, yang lainnya tidak. Saya hanya ingin keadilan pak. Apalagi saya juga tertib menyetor rutin tiap hari sebesar Rp 2000 dan uang kebersihan. Memang dulu ada setoran pak perbulannya, saya diminta Rp 300 Ribu perbulan. Sama dengan lapak jualan telor, Rp 300 ribu. Kalau punya pak Hen kalau tidak salah Rp 900 ribu. Termasuk punya pak Taufik kalau tidak salah sekitar Rp 800 ribu. Nah, uang bulanan itu kita kumpulkan lewat pak Taufik setiap bulan nya. Kok tiba-tiba lapak saya dibongkar, sementara yang lain tidak. Ini kan tidak adil namanya pak,” ungkap Wawan
Keterangan Wawan sendiri senada dengan pedagang buah lainnya di bedeng PKL tersebut. " Apong pemilik lapak buah mangaku sudah rutin menyetor Rp 200 ribu sejak mulai berjualan pada 2015 lalu.



