Advertisement

Konflik Orangtua, Tiga Siswa Prestasi dari Keluarga Miskin di Paksa keluar ruangan saat jam pelajaran sekolah

Konflik Orangtua, Tiga Siswa Prestasi dari Keluarga Miskin di Paksa keluar ruangan saat jam pelajaran sekolah
Foto: saat satu keluarga miskin menerima kenyataan anaknya dikeluarkan dari sekolah
Advertisement
BANTEN
Rabu, 30 Okt 2024  11:36

AliansiNews.ID-Kabupaten Pandeglang, Tiga siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu dipaksa berhenti mengikuti pelajaran oleh sekolah ternama, Yakni Sekolah Dasar Islam Terpadu Insan Cedekia Mathlaul Anwar (SDIT ICMA) Yayasan Islamic Centre Herwansyah Kampung Kadasuluh, Desa Karyasari, Kecamatan Cikeudal, Kabupaten Pandeglang Banten.

Kisah nyata memilukan ini banyak mendapat sorotan publik, Namun juga menjadi misteri karena sejak awal ketiga siswa tersebut Gratis mengikuti pelajaran disekolah itu. Namun sejak sejak ibunda korban Defi Fitriani (tiga siswa-red) yang juga masih kerabat pemilik Yayasan tak lagi bekerja di sana biaya persekolahan tiga siswa tersebut dimunculkan yakni biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) juga dikaitkan dengan uang pembangunan, seragam, hingga buku-buku pelajaran yang jumlahnya sebesar 42 juta rupiah untuk ketiga siswa tersebut. Tentu saja uang sebesar itu tak bisa dipenuhi oleh orang tua ketiga siswa yang kesehariannya bekerja serabutan ditambah lagi beban hidup belum terbayarnya biaya kontrakan selam 3 bulan dimana keluarga itu tinggal.

Advertisement

Diketahui, Satu keluarga yang berkehidupan jauh dari kata cukup yakni sang ayah bernama Muhammad Farhat dan ibundanya bernama Defi Fitriani memiliki 3 orang anak bertempat tinggal di Menes, Kabupaten Pandeglang. Ketiganya anakanya dikenal menjadi siswa prestasi, yakni M. Faeyza Athalla Febrian (11), M. Farraz Athilla Ahza(10), dan M Fathan Atharva Ghazi(7), Hal dibuktikan dengan setumpuk plakat dan sertifikat penghargaan.

1.M. Faeyza Athalla Febrian Kelas 6 SD hafal 30 juz, berpredikt Mumtaz (predikat terbaik) sudah di wisuda

2.M. Farraz Athilla Ahza Kelas 5 SD hafal 30 juz gagal mengikuti jejak kakaknya namun di nonaktifkan pihak sekolah hingga gagal wisuda, Faraz juga memiliki prestasi bidang akademik di mata pelajaran Matematika

3.M Fathan Atharva Ghazi dari tilawatinya juga sempat dapat predikat terbaik.

Kepada AliansiNews.ID, Secara eklusif orangtua dari ketiga siswa tersebut yakni, Muhammad Farhat dan Defi Fitriani menceritakan

"Dari mana pak (lunasinya tunggakan SPP) kerja aja serabutan yah," kata Fahat.

Penghasilannya bahkan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja.

"Cukup untuk sehari-hari udah Alhamdulillah apalagi untuk melunasi pembiyaan itu," kata Fahat.

Tunggakan SPP 3 siswa SD Pandeglang ini mencapai Rp 42 juta.

Advertisement

"Nanti sekolah lagi yah bang kalau udah bayaran," kata Fahat saat menenangkan tangisan 3 anaknya.

"Atas intruksi pembina yayasan," kata Defi.

Defi dan Fahat memang menunggak uang bayaran sekolah atau SPP sebesar Rp 42 juta.

"Diantar pas jam mereka aktif yah, lagi belajar. Dipualngkan paksa," kata Defi Fitriani.

"Yang mengantarkannya guru kelas 2 orang, bagian kesiswaan dan sopir dari sekolah," tambahnya.

Defi sangat tak menyangka jika pihak sekolah akan bersikap tega terhadap 3 anaknya.

Advertisement

"Sedih, hancur yah, orang tua mana yang bisa melihat anak lagi senang belajar tiba-tiba dipulangkan paksa, perasaan saya hancur," katanya.

Bahkan, Faeza (11) bercerita ia dimarahi bos yayasan di depan teman-temannya.

"'Ngapain sekolah lagi, belum bayar SPP juga. Udah banyak tagihannya'. Yang punya sekolah," kata Faeza.

Defi dalam kesempatannya juga menjelaskan terkait tunggakan pembiayaan sekolah sebanyak Rp 42 juta.

Ia menguraikan, tunggakan tersebut tidak hanya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).

Namun juga terkait uang pembangunan, seragam, hingga buku-buku pelajaran.

Sedangkan biaya SPP per bulan, anak pertama sebanyak Rp 350 ribu, anak kedua sebanyak Rp 300 ribu, dan anak terakhir Rp 250 ribu.

Defi mengaku, Awalnya ketiga anaknya tidak dikenai biaya karena masih keluarga pemilik yayasan.

"Sudah lama tunggakannya karena memang dulu saya aktif di yayasan tersebut, saya juga dari keluarga punya yayasan. Setelah konflik keluarga, dimunculkan tagihan.

"Dari mereka (pihak yayasan) alasannya karena ada tunggakan pembiayaan, sekitar Rp42 juta untuk tiga anak," kata Fahat.

Ia pun mengungkap penyebab sampai menunggak SPP sekolah.

Fahat mengaku tak memiliki penghasilan guna membayar SPP ketiga anaknya yang sekolah di SD Pandeglang.

Tidak bisa berbuat apa-apa, Fahat mengurai profesinya sehari-hari.

Penghasilannya selama ini hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Dari mana pak, kerja aja serabutan ya, cukup untuk sehari-hari udah alhamdulillah, apalagi untuk melunasi pembiyaan itu," kata Fahat.

Hingga berita ini dilansir, Pihak sekolah belum memberikan klarifikasi atas tindakan pengusiran terhadap tiga siswanya.

Terkuak sikap ketus pihak pimpinan yayasan dari sekolah SD di Pandeglang Banten , yang memulangkan paksa tiga siswanya.

Bahkan ucapannya selaku pimpinan yayasan saat mengusir ketiga siswa SD di Pandeglang ini terbilang tidak manusiawi.

Seperti diungkap Faeza (11), Anak sulung dari pasasangan M Farhat dan Defi Fitriani

"'Ngapain ini sekolah lagi, belum bayar SPP juga udah banyak tagihannya'. (Kata) yang punya sekolahnya," ungkap Faeza,

Faeza, yang kini duduk di kelas 6 SD, mengungkapkan kebingungan dan ketakutannya.

“Kepala yayasan memarahi saya di depan teman-teman dan meminta saya untuk tidak belajar di sini karena tunggakan SPP yang sudah terlalu banyak,” ujarnya, sambil menundukkan kepala

Rasa malu dan tertekan menghimpit dirinya, seiring dengan ketidakpastian masa depan yang kini membayanginya.

Sementara itu, Ibunda Faeza, Defi Fitriani, tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan nasib anak-anaknya.

“Mereka adalah anak-anak berprestasi, terbukti dari banyaknya sertifikat penghargaan yang telah mereka terima. Namun kini, pendidikan mereka terancam terhenti hanya karena kami tidak mampu membayar uang sekolah,” dengan suara bergetar.

Defi juga mengungkapkan bahwa selain masalah SPP, Keluarga mereka tengah menghadapi kesulitan lain, termasuk menunggak kontrakan selama tiga bulan.

Ayah Faeza, Muhammad Fahat, seorang buruh harian, Menyampaikan keprihatinan mendalam mengenai kondisi pendidikan di Kabupaten Pandeglang.

“Anak-anak saya tidak bisa sekolah hanya karena kami miskin. Uang SPP sebesar Rp42 juta jelas di luar kemampuan kami. Bagaimana kami bisa membayar, sementara untuk makan sehari-hari saja sudah sulit?," ujarnya

Devi juga menceritakan, Ketiga anaknya kembali ke rumah dengan wajah lesu dan hati yang hancur setelah dihantar oleh mobil sekolah. Mereka menangis seunggukan karena dipaksa meninggalkan ruang belajar sekolah karena belum melunasi SPP karena kondisi ekonomi keluarga dan dari keluarga yang sangat memprihatinkan.

Keputusan pihak sekolah memulangkan siswa pada saat jam pelajaran berlangsung membuat kecewa dan duka mendalam bagi orang tua siswa dan menimbulkan berbagai ragam reaksi masyarakat indonesia

.Kejadian ini memicu berbagai pertanyaan mengenai kebijakan sekolah. Sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, tindakan memulangkan siswa karena ketidakmampuan ekonomi sangat tidak pantas. Terlebih lagi, sekolah tersebut telah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah, yang seharusnya digunakan untuk membantu siswa kurang mampu.

Terkuak meski dipulangkan, ketiga siswa tersebut masih memiliki kedekatan keluarga dengan pihak pemilik yayasan sekolah tersebut.

Muhammad Fahat, ayah dari ketiga siswa itu membenarkan bahwa tiga siswa SD ini memang masih keluarga dengan pemilik yayasan sekolah yang dipulangkan secara paksa tersebut.

“Ceritanya panjang sih, ya masih keluarga ponakannya sama (Pemilik yayasan,-red),” katanya

Anak-anaknya juga belum bisa dipindahkan ke sekolah lain karena Data Pokok Pendidikan (Dapodik) belum dicabut dari sekolah lama.

Pihaknya telah menyelesaikan masalah ini dengan bantuan Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pandeglang. Namun, upaya mediasi tidak berhasil karena tidak ada respons jelas dari pihak yayasan sekolah.

“Sudah dimediasi oleh Disdikpora, pihak yayasan diundang untuk menghadiri mediasi, namun yang datang hanya perwakilannya. Sayangnya, tidak ada keputusan apa-apa dari pertemuan tersebut,” ucapnya.

Hingga kini, ketiga siswa berprestasi itu belum mendapatkan akses pendidikan baru. Ayah dari ketiga siswa, Muhammad Fahat, mengungkapkan bahwa ia berencana memindahkan anak-anaknya ke sekolah lain yang lebih dekat, karena kondisi di sekolah lama sudah tidak nyaman.

“Karena sudah tidak nyaman, saya pasti akan pindahkan anak-anak ke sekolah swasta terdekat,” ucap Fahat.

Sebagai orangtua, Fahat berharap agar anak-anaknya segera bisa kembali bersekolah dan mendapatkan hak pendidikan yang layak. Ia juga berharap tidak ada lagi siswa lain yang mengalami perlakuan serupa karena kendala biaya.

“Saya berharap ini yang terakhir. Tidak ada lagi siswa lain yang menjadi korban hingga dipulangkan paksa hanya karena masalah biaya,” tuturnya.

Sebelumnya diberitakan, nasib memilukan menimpa tiga kakak beradik siswa sekolah dasar (SD) di Pandeglang, Banten, terpaksa dipulangkan pihak sekolah karena orang tua mereka tidak mampu membayar tunggakan SPP yang mencapai Rp42 juta.

Kisah mereka viral di media sosial setelah video pemulangan paksa tersebut tersebar luas.

Ketiganya diantar 3 orang guru ke rumahnya di Menes, Banten

Video saat 3 siswa SD ini dipulangkan paksa bahkan viral di media sosial.

Defi dan Fahat memang menunggak uang bayaran sekolah atau SPP sebesar Rp 42 juta.

"Diantar pas jam mereka aktif yah, lagi belajar. Dipulangkan paksa," kata Defi Fitriani.

"Yang mengantarkannya guru kelas 2 orang, bagian kesiswaan dan sopir dari sekolah," tambahnya.

Defi sangat tak menyangka jika pihak sekolah akan bersikap tega terhadap 3 anaknya.

"Sedih, hancur yah, orang tua mana yang bisa melihat anak lagi senang belajar tiba-tiba dipulangkan paksa, perasaan saya hancur," katanya.

Defi dalam kesempatannya juga menjelaskan terkait tunggakan pembiayaan sekolah sebanyak Rp 42 juta.

Ia menguraikan, tunggakan tersebut tidak hanya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).

Namun juga terkait uang pembangunan, seragam, hingga buku-buku pelajaran.

Sedangkan biaya SPP per bulan, anak pertama sebanyak Rp 350 ribu, anak kedua sebanyak Rp 300 ribu, dan anak terakhir Rp 250 ribu.

Defi mengaku, awalnya ketiga anaknya tidak dikenai biaya karena masih keluarga pemilik yayasan.

"Sudah lama tunggakannya karena memang dulu saya aktif di yayasan tersebut, saya juga dari keluarga punya yayasan. Setelah konflik keluarga, dimunculkan tagihan.

"Dari mereka (pihak yayasan) alasannya karena ada tunggakan pembiayaan, sekitar Rp42 juta untuk tiga anak," sambung Fahat.

Ia pun mengungkap penyebab sampai menunggak SPP sekolah.

Fahat mengaku tak memiliki penghasilan guna membayar SPP ketiga anaknya yang sekolah di SD Pandeglang.

Padahal ketiga siswa tersebut disebut berpestasi, namun terpaksa dipulangkan dan batal diwisuda.

Sang ibunda mengaku hancur saat melihat anaknya dipulangkan paksa oleh gurunya karena menunggak SPP hingga Rp42 juta.

"Sedih, hancur, orang tua mana yang bisa melihat anak lagi senang belajar, kalau belajar semangat, ke sekolah enggak ada istilah malas, pasti selalu semangat," ucapnya.

"Tapi pas tiba-tiba harus dipulangkan paksa, perasaan saya hancur," imbuh Defi.

Kata Defi, tiga anaknya diantar pulang oleh guru-gurunya.

"Guru kelas dua orang sama bagian kesiswaan, sama sopir diantar pakai mobil," ujar Defi

Defi menjadi sangat pilu ketika mengetahui anak-anaknya dipaksa pulang saat sedang belajar di sekolah.

"Diantar saat jam pembelajaran," kata Defi.

Menurutnya, pemulangan paksa 3 siswa SD di Pandeglang Banten ini atas intruksi pembina yayasan.

"Dipulangkan paksa atas intruksi pembina yayasan," kata Defi Fitiani.

Kini video saat tiga murid SD tersebut dipulangkan menjadi sorotan publik hingga viral di media sosial.

Dalam video yang viral, tampak tiga siswa SD ini di antara tiga orang wanita mengenakan batik menggunakan mobil warna silver.

Ketiga anak tersebut dipulangkan paksa ke rumahnya dengan diantar oleh guru-gurunya.

Setelah ganti baju, tiga siswa yang merupakan kakak beradik tersebut langsung menangis di pelukan ibundanya Defi Fitriani

"Iya de, sekolah lagi kalau udah bayaran ya de, ya bang ya," ucap sang ayah, Muhammad Fathat

"Abang kuat," tambahnya.

Sementara itu, sang ayah, tak bisa berbuat apa-apa mengetahui ketiga anaknya diusir.

Sebab Fahat menyadari bahwa ia tidak mampu membayar tunggakan SPP senilai puluhan juta tersebut.

Fahat mengatakan, tunggakan SPP ketiga anaknya mencapai Rp42 juta.

"Dari mereka (pihak yayasan) alasannya karena ada tunggakan pembiayaan, sekitar Rp42 juta untuk tiga anak," kata Fahat.

Ia pun mengungkap penyebab sampai menunggak SPP sekolah.

Fahat mengaku tak memiliki penghasilan guna membayar SPP ketiga anaknya yang sekolah di SD Pandeglang.

Tidak bisa berbuat apa-apa, Fahat mengurai profesinya sehari-hari.

Berani menyekolahkan anaknya di sekolah swasta ternama, Fahat nyatanya hanya seorang buruh serabutan.

Penghasilannya selama ini hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Dari mana pak, kerja aja serabutan ya, cukup untuk sehari-hari udah alhamdulillah, apalagi untuk melunasi pembiyaan itu," kata Fahat.(ARM)

TAG:
#tiga siswa-keluarga miskin-prestasi-yayasan icma-konflim
#keluarga-dispora
Berita Terkait
Rekomendasi
Selengkapnya
Formasi Indonesia Satu
Aliansi Indonesia