Jejak Ratu Bagus Mat Ali di Batin Nihan

MESUJI. Setengah menyincingkan sarung, Wayan Sutris bergegas mendekat setiba kami di pintu masuk Dusun Batin Nihan (lazim disebut Batunian). Ia baru saja selesai melaksanakan peribatan dan rumahnya masih penuh sesak oleh warga. Di Dusun ini, dia adalah Kepala Rukun Kampung (RK) atas desa induk Talang Batu Kecamatan Mesuji Timur yang berjarak puluhan kilometer. Seperti beberapa RK Talang Batu yang lain, dusun ini juga terbilang unik bukan saja karena lokasinya yang terpisah cukup jauh, tapi juga karena penghuninnya yang mayoritas bersuku Bali. (13/08/21)
“Alat berat sudah datang?” tanya Mardinata setiba Wayan Sutris di jarak dekat.
“Belum Pak Dewan. Kami juga menunggu sejak tadi.”
“Mungkin sebentar lagi, cuaca memang agak mendung,” kata Mardinata.
“Ya, Pak. Pokoknya kami akan tunggu.”
Mardinata adalah anggota DPRD Mesuji yang hari itu sengaja menjadwalkan perbaikan akses jalan seputar dusun ini dan yang dimaksud dengan alat berat itu adalah Grader 510 yang sudah ia janjikan.
Poisisi dusun ini sebenarnya berbatasan langsung dengan perusahaan perkebunan P.T Silva di sebelah Timur hingga akses jalannya cenderung tertutup dari mata publik. Karena itulah, para penghuninya selalu kebingungan terhadap perbaikan jalan dan sebagai putera daerah, Mardinata sungguh memahami kondisi tersebut. Di samping itu –seperti yang ia sampiakan pada saya dan Ketua PWI Mesuji, Apriadi, yang menyertainya siang itu— Mardinata juga ingin membenahi jalan masuk makan Ratu Bagus Mat Ali yang letaknya tepat di ujung bagian Utara dusun. Sebab akses itu, juga adalah akses yang sama dengan lokasi peladangan masyarakat dusun ini.
“Kalau begitu, kami ziarah ke makam dulu, Bli,” ucap Mardinata kemudian.
“Baik, Pak. Saya juga mau menyelasikan peribadatan,” jawab Waya Sutris dan mobil yang kami tumpangi segera berbelok ke kiri, menuju sisi Utara.
Ratu Bagus Mat Ali Wafat Abad XVI
Cungkup makam yang kami datangi itu berjumlah dua; satu menaungi makam, dan yang satu lagi adalah tempat para penziarah beristirahat dan posisi keduanya tepat berada di tengah areal peladangan yang sudah dibajak dan siap di tanami. Tak jauh di dari sana, aliran Sungai Buaya yang melingkar membentang dari ujung Selatan hingga Utara. Layaknya sebuah makam tua, tak ada hal yang menandai makam ini kecuali dua bangunan cungkup yang sama sekali tanpa pagar pelindung.
Merdinata mengatakan, dia merasa berkewajiban menjaga makam ini sebab Tubagus Mat Ali adalah leluhur orang-orang Talang Batu. Namun ketika kami mulai memasuki makam itu, saya dan Apriadi sempat tertegun sebab batu nisan di makam itu ternyata berjumlah tiga. Ada dua nisan lain dengan posisi saling bersandingan dan tampaknya berusia sama.
Apriadi bertanya: “Kenapa tiga orang?”
“Ya,” jawab Mardinata. “Dua yang lain adalah Tuan Pemuja Rasul dan Ratu Bagus Muda. Keduanya saudara kandung Ratu Bagus Mat Ali.”
“Batin Nihan? Bukankah itu adalah nama seseorang juga?”
“Betul. Beliau adalah Ayah ketiga orang ini tapi makamnya terpisah.” Mardinata kemudian menunjuk sebuah arah berlainan dan kami semua menoleh ke sana. “lagi pula, akses jalan ke sana masih cukup sulit dan itulah fungsi alat berat yang akan tiba nanti, salah satunya.”
Mardinata kemudian menyampaikan keinginannya untuk memugar makam itu dan membangun akses jalan menuju ke lokasi. Dia ingin melakukannya sebagai semacam panggilan jiwa atas jasa para lelulur yang sudah membuka tanah ini yang dalam hal ini termasuk Ratu Bagus Mat Ali.
“Makam ini sebenarnya juga sering diziarahi oleh orang-orang luar daerah dan saya kira, menjadikannya sebagai cagar budaya bukan saja pilihan tepat tapi memang keharusan.”
“Anggarannya dari mana?” saya bertanya.
“Sementara ini biarlah menggunakan dana pibadi.”
“Makam ini sudah ada sejak kapan?” Apriadi menyela.
Mardinata kemudian menunjukan angka yang tertera pada nisan Ratu Bagus Mat Ali dengan tahun wafat 1677.
“Abad ke XVI?”
“Ya. Di masa kesultanan Banten.”
Usai memanjatkan doa dan berziarah, kami kemudian memutuskan untuk mengelilingi areal seputar makam untuk mencari kemungkinan lain yang dapat memperkuat keberadaan dan sejarah makam ini. Namun setelah beberapa waktu, tak ada yang benar-benar dapat ditemukan kecuali aliran Sungai Buaya yang pada masa itu, tentu adalah jalur transportasi.
Hujan tiba-tiba turun dan kami semua bergegas menuju mobil. Mardinata mengatakan kami harus keluar dari lokasi itu sebab jika hujan kian deras, kami bisa terjebak dan akan kesulitan untuk keluar bila tidak segera melakukannya.
Menekan gas agak kencang, Pajero Sport yang kami tumpangi segera menyeruak keluar areal dengan tujuan kembali menemui Wayan Sutris di kediamannya.
Cerita Mistis di Seputar Makam
Hujan yang mengguyur secara tiba-tiba itu ternyata tidak berangsung lama. Setiba di rumah Wayan Sutris, kami kemudian menyempatkan berdialog terkait makam itu dan ia mengatakan, bukan hanya masyarakat seputar Batin Nihan saja yang rajin berziarah ke sana.
“Dalam masa-masa tertentu, masyarakat luar Mesuji bahkan banyak yang melakukannya. Saya juga ndak tau mereka tahu tentang makam ini dari mana sebab mereka datang begitu saja bahkan ada yang dari pulau Jawa,” ucap Wayan.
Hal aneh lain, masih menurut Wayan Sutris, beberapa warganya juga sering melihat kemunculan harimau putih dan rusa jantan bertanduk enam cabang yang selalu tanpa sengaja.
“Kadang pas kita lagi menanam singkong, tiba-tiba harimua atau rusa itu mucul entah dari mana. Tapi orang sini tak mau mengganggu dan hanya membiarkan saja. Sampai keduanya akhirnya pergi.”
“Sampai sekarang masih sering muncul?” Apriadi penasaran.
“Masih. Dan kami menyakini keduanya adalah penjaga makam itu.”
Keanehan lain, masih menurut Wayan Sutris, di wilayah ini tak pernah terjadi kekeringan sebab setiap kali mereka berdoa meminta hujan, selang dua atau tiga hari kemudian hujan benar-benar akan turun.
Kisah-kisah aneh yang ingin disampaikan Wayan Sutris sebenarnya masih cukup banyak namun kesempatan mengobrol kami harus terputus dengan kedatangan alat berat yang memang sedang ditunggu. Mardinata kemudian berajak menghampirinya untuk menyampaikan beberapa pesan pada operator dan tak lama berselang, wayan Sutris segera ikut mendekat.
“Utamanya jalan menuju makam,” kata Mardinata pada Wayan Sutris dan operator. “Selebihnya benahi juga jalan seputar dusun dan jalan masuk yang berbatasan langsung dengan P.T Silva.”
“Siap, Pak Dewan!” sahut Wayan Sutris.
“Jangan lupa, siapkan orang untuk memandu agar alat berat bisa bekerja secara maksimal,” imbuh Mardinata.
“Siap, Pak Dewan!”
Ketika Mardinata mulai berbalik dan saya dan Apriadi mendekati Wayan Sutris, setengah tersenyum, lelaki berikat kepala itu kemudian berucap:
“Sejak dusun ini berdiri, baru kali ini ada bantuan alat berat yang masuk. Selama ini semuanya kami lakukan dengan gotong royong manual.”
Dan, Mardinata sama sekali tak mendengar ucapan penuh haru itu. (FajarLAI)


