Nisan Terbuat Kayu Jati Kokoh Ratusan Tahun, Makam Eyang Honggowongso di Desa Mendalan Jeruk Miri Sragen Banyak di Ziarahi Pejabat. Dipercaya Ada Sejarah Masa Keraton Surakarta dan Kartosuro

SRAGEN - Lokasi makam Eyang Honggowongso ini jarang terjamah publik, bahkan agak pelosok terletak di Desa Mendalan Desa Jeruk Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah.
Dari cerita turun turun, semasa hidupnya Eyang Honggowongso merupakan sosok tokoh kepercayaan Ratu di Solo dalam mempertahankan wilayah Solo dari incaran Sombowati, seteru abadi Ratu Solo. Saat itu Ratu Solo mengadakan sayembara bagi yang berani melawan kekejaman Sombowati.
Advertisement
Dari cerita, Honggowongso dan Sombowati adu kesaktian dengan cara memanggul batu besar yang ada di tanah Solo. Akhirnya Sombowati mati karena kehabisan tenaga sedangkan Eyang Honggowongso memenangkan pertarungan sayembara tersebut.
"Diperkirakan wafatnya Eyang Honggowongso tersebut sejak 300-an tahun yang lalu. Dalam perkembangan waktu Makam Eyang Honggowongso pernah dipugar pada tanggal 26 April 1985 oleh seorang perwira militer ternama bernama Mayor CZI Soengkono,"ungkap Suparno (63) salah satu tokoh sesepuh di Desa tersebut.
Lanjutnya, pada dasarnya makam dipugar hanya bangunan luarnya saja. Sebenarnya oleh beliau ada niat kijing Makam juga ingin dipugar, tapi Eyang Honggowongso tidak menghendaki yang disampaikan lewat mimpi terhadap pemugar itu. Dan kini kijingnya masih berupa kayu jati hingga sekarang. Walaupun usianya ratusan tahun, kayunya tetap berdiri kokoh.
"Makam Honggowongso biasanya ramai dikunjungi peziarah pada malam Jumat legi. Pengunjung pun berasal dari berbagai daerah di luar Sragen seperti Semarang dan Wonogiri. Para peziarah biasanya merupakan warga yang ingin nyalon jabatan/pangkat tertentu. Kalau sukses, warga akan syukuran/slametan ada juga yang potong kambing dilokasi makam." tandasnya.
Berbeda lagi dengan versi yang diceritakan oleh salah satu tokoh aktivis Media di Kabupaten Sragen Eka Awi ini. Dia mengatakan dari beberapa sumber dan babad yang didapatnya bahwa RT Honggowongso dengan nama lain terkenalnya Djoko Sangrib atau Kenthol Surowidjoyo adalah putera dari Pangeran puger, garwo ampeyan Ingkang Sinuhun Paku Buwono I Kartosuro.
"Dari beberapa sumber juga kitab yang saya dapat, Djoko Sangrib adalah putera Paku Buwono I sebelum jumeneng. Tetapi masih sebagai Pangeran Puger atau setidak-tidaknya masa dimana beliau masih menyatakan diri sebagai Sunan Ngalogo Jenar yang berkeraton di desa Purwaganda sebelah selatan Desa Jenar-Kebumen. Ada silsilah raja-raja Mataram secara urut ialah dari Panembahan Mataram (Ki Ageng Pemanahan), Panembahan Senopati ing Ngalogo (R. Sutowidjoyo), Kangjeng Sultan Anyokrowati-Sedo Krapyak, Kanjeng Sultan Agung Anyokrokusumo, Kangjeng Sinuhun Mangkurat I Agung-Tegalarum lalu Paku Buwono I," terang Awi yang juga sosok Ketua BPAN (Badan Penelitian Aset Negara) Lembaga Aliansi Indonesia Kabupaten Sragen itu.
(Ketua BPAN LAI Kabupaten Sragen sekaligus tokoh media Eka Awi saat bertandang wisata religi di Makam Eyang Honggowongso. Foto: Istimewa)
Awi juga menambahkan, dari kitab atau babad yang dipelajarinya juga menerangkan, bahwa Kerajaan Mataram dengan ibukota Plered yang semula aman dan tenteram, pada tahun 1677 diserbu oleh Trunodjoyo, putra Demang Melaja dari Madura, dengan pasukan yang amat kuat. Sehingga keraton Plered dapat direbut dan diduduki. Dapat dibayangkan bahwa keraton yang menjadi ajang pertempuran menjadi rusak berat. Raja Mataram yang berkuasa waktu itu adalah Sinuhun Mangkurat I Agung dan terpaksa melarikan diri dari keraton meninggalkan Plered kearah Barat (Banyumas) diantar oleh keluarga dan kedua puteranya, ialah Pangeran Adipati Anom (pewaris tahta) dan adiknya ialah Pangeran Puger.
Advertisement
Tujuan pelarian ke Barat, meskipun merupakan suatu perjalanan yang berart dan mengerikan dengan perasaan cemas karena sewaktu-waktu dapat disusul oleh laskar Trunojoyo. Sesampainya di desa Jenar (Kebumen), rombongan baru dapat beristirahat dan Sinuhun Mangkurat I Agung berkata kepada puteranya Pangeran Poeger agar tetap tinggal di Jenar untuk membentuk pasukan yang kuat dan mengadakan konsolidasi guna mempertahankan, apabila sewaktu-waktu pasukan Trunojoyo menyusul.
Sinuhun Mangkurat I sendiri diantar oleh putera mahkota Pangeran Adipati Anom meneruskan perjalanan ke Banyumas. Sesampainya di Banyumas, Mangkurat I menderita sakit yang semakin lama semakin parah hingga wafat di Ajibarang dan dimakamkan di Tegalarum. Setelah raja wafat, maka Pangeran Adipati Anom yang semula berniat akan pergi ke Mekah tidak jadi dan menggantikan ayahandanya sebagai raha Mataram, jejuluk Sinuhun Mangkurat II Amral. Penobatan Sinuhun Mangkurat II Amral dilakukan di Banyumas.
Pangeran Puger yang berada di Jenar mendengar kalau ayahandanya wafat dan mengira kalau kakaknya (Pangeran Adipati Anom) sudah pergi ke Mekah, maka Pangeran poeger menobatkan diri sebagai Sunan Ngalogo di Jenar Kebumen. Tentu daru pihak kerajaan Mataram dan pihak kompeni tidak mau mengakui Pangeran Poeger sebagai Sunan, karena sudah ada rajanya yaitu Sunan Mangkurat II Amral.
Pasukan Trunojoyo benar-benar menyerbu Jenar. Perang besar terjadi di desa Jogoboyo. Sunan Ngalogo sudah mempunyai pasukan yang kuat ditambah orang-orang Bagelen (Kebumen). Perang dapat dimenangkan oleh Pangeran Poeger dab pasukan Trunojoyo dikejar sampai wilayah Kediri. Pangeran Poeger (Sunan Ngalogo) dapat merebut kembali keraton Plered, meskipun dalam keadaan rusak berat.
Sunan Mangkurat II Amral yang berada di banyumas waktu mendengar pasukan Trunodjoyo sudah lari sampai kediri, mengirimkan pasukannya juga untuk memburu dan menumpas yang akhirnya dapat membunuh Trunodjoyo di gunung Ngantang Malang. Setelah dapat menumpas Trunodjoyo dab pasukannya, maka Sinuhun Mangkurat II pulang ke jawa Tengah dan membangun keraton baru di Kartosuro (1677).
"Dengan demikian dalam satu kerajaan Mataram ada 2 rajanya (raja kembar), ialah Mangkurat II Amral di Kartosuro dan Sunan Ngalogo di Plered. Kedua raja tersebut berebut kekuasaan dan pecah perang hebat antara kakak beradik. Namun akhirnya Sunan Ngalogo (Pangeran Puger) sadar, bahwa yang dimusuhi adalah kakak kandung sendiri dan menyerahlah dia kepada kakandanya Sunan Mangkurat II Amral. Oleh Mangkurat II, Pangeran Puger beserta semua pengikutnya diperbolehkan “nderek” di keraton Kartosuro dan kembali memakai nama Pangeran Puger (nderek 1660 – 1703). Peristiwa menyerahnya Sunan Ngalogo kepada kakaknya Mangkurat II dijadikan tembang Dandang-Gulo “Semut Ireng, Anak-Anak Sapi” dan “Ono Wong Ngoyak Macan". Imbuhnya. (Tim/Ren)
Advertisement


