UU TPKS, Senjata Ampuh untuk Menjerat Ulah Para "Penjahat Kelamin"

UU TPKS, Senjata Ampuh untuk Menjerat Ulah Para "Penjahat Kelamin"
Foto: Ilustrasi.
Minggu, 10 Mar 2024  12:45

Oleh: Muhammad Syafei (Dewan Pendiri Formasi Indonesia Satu)

Saat mencuat kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret rektor Universitas Pancasila beberapa waktu lalu saya cukup interes. Interesnya sebenarnya lebih pada rasa terheran-heran ketimbang benar-benar interes (tertarik).

Terheran-heran bagaimana Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya bisa menerima dan memproses pelaporan seperti itu, karena berdasarkan informasi berbagai media salah satu kejadiannya dilaporkan di ruang kerja sang rektor yang tertutup, hanya ada terduga pelaku dan terduga korban, tidak ada rekaman audio maupun visual (CCTV, misalnya), dan perbuatan yang dilaporkan HANYA mencium.

Kata HANYA di atas tidak saya maksudkan untuk meremehkan dugaan perbuatan mencium itu, tapi lebih pada menekankan bahwa perbuatan mencium nyaris mustahil bisa dilacak jejaknya sesuai kaidah hukum yang berlaku. Berbeda dengan rudapaksa yang bisa ditelusuri jejak perbuatannya melalui visum atau jika pelecehan yang disertai tindakan yang mengakibatkan rusaknya pakaian dan sebagainya. Perbuatan mencium jelas nyaris mustahil ditemukan jejaknya secara fisik. Singkat kata, kasus itu sangat tipis (kalau tidak boleh dibilang tidak ada) alat buktinya.

Jika kemudian ada semacam pembelaan dari sang rektor bahwa pelaporan itu bermuatan "politis" menjelang pemilihan rektor, disertai nada ancaman si pelapor justru bisa dilaporkan balik, saya katakan pembelaan dan ancaman itu masuk akal (bukan berarti benar lho).

AdvertisementJaro Ade

Well, kemudian kasus itu tersingkir dari pikiran saya, tenggelam oleh hiruk pikuk politik dan kesibukan pribadi lainnya. Sampai kemudian beberapa hari lalu seorang teman menghubungi saya mengadukan kasus yang serupa yang menimpa salah seorang keluarganya.

Di sela mendengar cerita tentang kejadiannya, pikiran saya selalu bilang "berat, berat dan berat". Ya berat untuk diungkap dan dibawa ke jalur hukum karena tipisnya alat bukti itu. Satu-satunya alat bukti hanyalah kesaksian korban yang sudah tentu tidak mencukupi persyaratan "dua alat bukti permulaan yang cukup".

Kemudian saat komunikasi langsung dengan terduga korban dan diceritakan masalah itu pernah dilaporkan ke polisi dan ditolak, dalam hati saya membenarkan penolakan itu. Lalu dilanjutkan bahwa pelaporan akhirnya diterima setelah ada advis dan pendampingan P2TP2A (kepanjangannya cari sendiri ya), disertai penjelasan bahwa visum psikologi bisa dijadikan alat bukti, sehingga ditambah dengan kesaksian korban terpenuhi "dua alat bukti permulaan yang cukup". Mendengar itu dalam hati saya menggumam, "Oh, begitu ...", tapi tetap belum yakin.

Sebelum melanjutkan perlu saya jelaskan dulu bahwa saya sama sekali bukan praktisi hukum, tidak pernah juga sekolah di hukum (kalau sekolah dihukum, sering banget .. nah, ini selipan pelajaran bahasa, "di" sebagai kata depan yang penulisannya dipisah dengan "di" sebagai awalan yang penulisannya disambung itu maknanya jauh berbeda). Namun saya sering diminta advis terkait masalah hukum, sehingga mau tidak mau saya "terpaksa" belajar masalah hukum, itupun "case by case".

Berita Terkait