Revisi UU Terorisme, Lembaga Aliansi Indonesia: TNI Harus Diberi Peran Signifikan
Lembaga Aliansi Indonesia menyorot tajam masih alotnya pembahasan RUU Terorisme yang disiapkan sebagai revisi atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketua Umum Lembaga Aliansi Indonesia (LAI), H. Djoni Lubis, mendesak agar pembahasan RUU tersebut segera dirampungkan.
“UU tentang terorisme itu ditetapkan tahun 2003, sudah 14 tahun yang lalu, tentunya sudah banyak yang harus disesuaikan dengan perkembangan jaman, khususnya perkembangan teknologi dan informasi, serta perubahan atau perkembangan dari pelaku terorisme itu sendiri,” ujarnya.
H. Djoni Lubis berharap pembahasan tidak berkutat di soal definisi serta hal-hal teknis lainnya, yang justru jadi penghambat serius untuk segera dirampungkannya RUU tersebut.
Tentang materi RUU-nya sendiri, Pendiri LAI itu mendukung penuh diberikannya ruang serta peran lebih bagi TNI dalam mencegah dan memerangi terorisme.
Menurutnya, terorisme itu bukan kriminal biasa, bukan pula gangguan kamtibmas biasa. Terorisme adalah ancaman dan serangan terhadap pertahanan Negara. Dengan demikian sudah semestinya jika TNI sebagai penanggungjawab utama pertahanan Negara dilibatkan dan mendapat peran signifikan dalam memerangi terorisme.
“Jika kita masih memperlakukan terorisme sebagai sebuah tindakan pidana, dan pendekatannya seperti terhadap tindakan pidana, jelas itu mendegradasi bahayanya terorisme terhadap Negara,” kata dia.
Advertisement
Terorisme, menurutnya adalah gerakan bersenjata tanpa memiliki Negara, bahkan bercita-cita untuk mendirikan Negara sendiri, minimal mengganti sistem Negara secara radikal jika tujuan mereka tercapai. Terorisme dalam aksinya menggunakan strategi perang gerilya, sehingga menghadapi terorisme tidak bisa hanya bersandarkan pada hukum-hukum sipil.
“Kalau perang dengan suatu Negara, meski kita nggak pernah ingin perang dengan negara manapun, itu jelas mana tentaranya, mana fasilitas militernya, mana wilayahnya, mana warga maupun fasilitas sipilnya, semua jelas. Lha kalau teroris itu nggak jelas. Secara formal mereka warga sipil, tapi latihan, kemampuan dan aksi-aksinya semua a la militer. Gerilya itu nggak jelas batasannya antara sipil dan militer,” jelasnya.
Tentang kekhawatiran terjadi pelanggaran HAM jika TNI dilibatkan, H. Djoni Lubis menepisnya. Menurutnya itu masuk ranah teknis, di mana prajurit-prajurit TNI yang ditugaskan dalam pemberantasan terorisme dapat secara khusus dibekali tentang HAM dan hukum-hukum sipil.
“Apa harus menunggu Indonesia jadi seperti Filipina atau Afghanistan dulu untuk sadar bahwa terorisme itu ancaman bahaya yang luar biasa terhadap negara, bukan sekedar ancaman terhadap kamtibmas?” pungkasnya.