Membangun (ulang) Modal Politik, Yang Tersembunyi di Balik Upaya Menggugat Hasil Pilpres

 
Rabu, 21 Feb 2024  15:49

Oleh: Muhammad Syafei (Dewan Pendiri Formasi Indonesia Satu)

Pilpres 2024 secara 'de facto' telah selesai dengan telah diketahui hasilnya melalui quick count (QC) yang sinkron dengan real count KPU di mana per tanggal 21/2/2024 pukul 14:00 dengan total suara masuk 73.71% pasangan nomor urut 02 memperoleh suara 58,76%.

Namun pilpres secara 'de jure' belum selesai karena harus menunggu penetapan oleh KPU setelah rekapitulasi suara berjenjang dengan batas waktu tanggal 20 Maret 2024. 

Setelah penetapan oleh KPU pun hssil secara 'de jure' belum benar-benar selesai dengan kemungkinan digugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Jauh hari sebelum pemungutan suara bahkan sebelum dimulainya kampanye pun telah dibangun narasi tentang kecurangan pemilu khususnya pilpres. Semakin dekat ke hari pemungutan suara, narasi-narasi itu semakin gencar dan intens, termasuk dirilisnya film "Dirty Vote" di hari pertama masa tenang.

Advertisement

Setelah pemungutan suara dan diketahui pilpres dimenangkan oleh Prabowo-Gibran sudah pasti narasi kecurangan semakin gencar dan keras. Hasil QC juga dipertanyakan dengan argumentasi yang sudah di level tidak tahu malu untuk ukuran orang yang memiliki pengetahuan atau katakanlah intelektualitas.

Mungkin banyak orang menyangka pihak-pihak yang kalah pilpres itu benar-benar sedang menggugat pilpres bahkan menggagalkannya,  tapi saya memiliki pandangan lain. Ada tiga kemungkinan (1) Benar-benar menggugat pilpres dan hasilnya; (2) Sedang melakukan bargaining politik; dan (3) Sedang membangun (ulang) modal politik.

Kemungkinan (1) itu sangat kecil, kalaupun ada sebagian besar hanya terjadi di kalangan simpatisan atau pendukung yang tidak benar-benat faham apa yang tersembunyi di balik gugatan pilpres itu. Jika paslon 01 dan 03 beserta elite-nya saya yakin mereka faham hampir mustahil bisa menggagalkan hasil pilpres. Kata kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif hanyalah "nyanyian" belaka yang tidak akan pernah bisa dibuktikan sebagai syarat mutlak pemilu harus diulang.

Kemungkinan (2) yaitu untuk bargaining politik. Kemungkinan ini cukup besar terutama bagi pihak yang membuka peluang atau bahkan ingin bergabung ke koalisi atau setidaknya pengin dirangkul.

Berita Terkait