Memahami Tentang Hak dan Kewajiban Mahkamah Agung RI

 
Sabtu, 04 Feb 2017  16:45

Demi terwujudnya keadilan dan kebenaran dalam hukum dan peradilan mutlak diperlukan sebuah lembaga tinggi Negara yang independen, terbebas dari cabang-cabang kekuasaan yang lain, sehingga diharapkan lahir produk-produk berupa putusan hukum yang terbebas dari campur tangan atau intervensi dari pihak manapun.

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia lembaga tinggi Negara tersebut adalah Mahkamah Agung (MA) RI yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung adalah hirarki kehakiman tertinggi yang membawahi peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha Negara sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 24 ayat (2) “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi Negara yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi seperti yang ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 24A ayat (1), yang dalam teknis pelaksanaanya diatur lebih lanjut melalui pasal 16 Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1950 jo. pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung pula yang memiliki kewenangan mengadili Peninjauan Kembali (PK) seperti yang diatur dalam pasal 67, 68 dan 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Dari sisi ketatanegaraan RI posisi serta kewenangan Mahkamah Agung jelas dan tegas, sementara di sisi lain, dari sudut pandang rakyat Indonesia Mahkamah Agung menjadi tumpuan harapan tertinggi untuk memperoleh keadilan melalui putusan-putusannya.

Advertisement

Saat masyarakat tidak memperoleh keadilan dalam proses hukum dan peradilan di tingkat awal maupun banding, masyarakat masih bisa menyandarkan harapannya kepada Mahkamah Agung. Sehingga sangat diharapkan Mahkamah Agung menjadi filter atau pengadil terakhir, baik untuk kasasi maupun upaya hukum luar biasa melalui PK, karena setelah Mahkamah Agung tidak ada lagi hirarki atau lembaga peradilan di atasnya.

Dengan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan RI, serta posisinya sebagai tumpuan harapan tertinggi masyarakat, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara yang sangat terhormat, sehingga sudah seharusnya dihormati. Setiap putusan-putusannya wajib dipatuhi oleh segenap warga Negara RI tanpa terkecuali.

Akan menjadi sebuah ironi jika lembaga tinggi Negara yang sangat terhormat itu justru dilecehkan oleh masyarakat atau bahkan oleh aparatur di dalam Mahkamah Agung sendiri atau hirarki yang berada di bawahnya. Putusan-putusannya akan menjadi seperti “macan ompong” karena tidak dipatuhi dan tidak bisa dieksekusi.

Salah satu contoh nyata ialah yang menimpa Mulyaji, Koperasi Tanjung Harapan Makmur (THM) di desa Tanjung Lago, kecamatan Tanjung Lago, kabupaten Banyuasin, Sumsel. Mulyaji yang telah dinyatakan tidak bersalah dalam kasus pidana melalui Putusan Mahkamah Agung No. 1355 K/Pid.Sus/2013, masih bisa digugat secara perdata perusahaan yang sama dan objek yang sama. Jika gugatan perdata tersebut diterima, dapat diartikan Putusan Mahkamah Agung tersebut dianggap tidak berarti oleh aparatur kehakiman di tingkat pengadilan Negeri.

Berita Terkait