Kabur Aja Dulu, Indonesia Gelap .. Drama Apa Lagi Ini?

Foto: Demo Indonesia Gelap (17/02/2025).
Rabu, 19 Feb 2025  16:13

Formasi Indonesia Satu (FIS) turut menyoroti tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap yang belakangan ini trending terutama di platform “X” (twitter). Namun FIS lebih melihatnya dengan sudut pandang positif dan sikap santai.

“Pertama, itu adalah aspirasi sebagian rakyat Indonesia. Sebagian ya, bukan keseluruhan, sehingga harus tetap dihargai,” kata Sekjen FIS Muhammad Syafei di Sekretariat Nasioal FIS, di Jl. Kutai III No. 3, Sumber, Kec. Banjarsari, Solo (19/02/2025).

Syafei memaparkan hasil survei kepuasan publik dari berbagi lembaga survei terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Afin di bulan Oktober 2024 dan terhadap kinerja 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Kenapa harus menyebut pemerintahan Pak Jokowi? Karena ada korelasi, bahwa narasi yang dibangun belakangan ini kemungkinan sangat besar adalah kelanjutan dari seri ‘drama’ sebelumnya yang sudah lama dibangun sejak masa pemerintahan Pak Jokowi. Apalagi tren yang berkembang kan bukan mengkritiak atau menyerang Pak Prabowo langsung, tapi ‘salawi’, apa-apa salah Jokowi. Mungkin sendal ilang di masjidpun itu juga salah Jokowi,” ujarnya sambil tertawa.

Syafei kemudian mengungkapkan hasil survei kepuasan publik di akhir masa jabatan Presiden Jokowi pada bulan Oktober 2024 dari berbagai lembaga survei yang berada di kisaran 75-80%, dan kepuasan publik di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran yang berada di kisaran 80%.

Advertisement

“25% vs 75%, 20% banding 80%. Kalau dari sisi prosentase itu kecil ya, tapi jika dikonversi menjadi angkat, itu sangat besar. Jika berdasarkan DPT (daftar pemilih tetap) yang jumlahnya 204 juta jiwa, 25% artinya 50 juta lebih, 20% persen berarti 40 juta lebih. Itu banyak banget, kalau berkumpul jadi satu Jakarta nggak muat,” imbuhnya sambil tersenyum.

Dia menambahkan, “Anggaplah yang 20% dan 25% yang tidak puas itu oposisi atau ‘hatters’ ya, nah di antara 40-50 juta orang itu kan mungkin, mungkin lho ya, ada yang punya duit atau modal untuk menggerakkan berbagai aksi, ada yang kepentingannya terganggu atau tidak terakomodasi, ada yang punya link ke pihak luar - semacam jadi ‘proxy’ lah -, ada yang pintar membangun narasi, ada yang jago melakukan propaganda, ada yang sanggup jadi buzzer, ada yang sekedar ikut-ikutan, dan sebagainya. Jadi ya wajar lah, ini sudah konsekuensi logis dari sistem demokrasi. Itu yang pertama.”

Yang kedua, menurutnya, adalah substansi isu atau narasi yang dibangun. Bahwa jika dilihat dari sudut pandang negaitf itu merupakan propaganda untuk mendeligitimasi pemerintah, dan jika dilihat dari sudut pandang positif itu merupakan aspirasi mengungkapkan kondonesia Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

“Pertanyaannya, kapan kondisi Indonesia pernah baik-baik saja? Jika parameter yang kita gunakan adalah penegakan hukum, kemanan, korupsi, sistem pendidikan, kesejahteraan rakyat, dan sebagainya, sejak proklamai 17 Agustus 1945 hingga detik ini Indonesia belum pernah baik-baik saja. Apalagi parameter itu menggunkan standar seperti di negara-negara maju,” kata Dia.

Berita Terkait