Jurus “Kunyuk melempar pisang” a la PSI
Oleh: Muhammad Safei (Staf Ahli Lembaga Aliansi Indonesia / Pemred AliansiNews.ID)
Sudah beberapa kali pemilu legislatif saya tidak menjadi warga negara yang baik, karena memilih golput. Status golput itu sebenarnya sudah niat saya cabut pada pemilu 2019 lalu dan saya sudah menentukan pilihan partai politik (parpol) mana yang akan saya coblos, yaitu Partai Solidaritas Indonesia alias PSI.
Sayangnya saat itu saya tidak menggunakan hak pilih saya di TPS sesuai domisili di KTP, sehingga terpaksa saya hanya bisa mencoblos untuk Pilpres, dan pasti pilihan saya sama seperti Pilpres 2014 adalah Pakde Jokowi.
Mengapa PSI? Alasan saya sangat sederhana, saya bosan dengan pelaku politik yang ‘lu lagi lu lagi’. PSI sama seperti Jokowi yang membuat minat saya pada politik bangkit lagi. Jokowi, bagi saya pribadi adalah representasi dari kesadaran kolektif yang menghendaki gaya dan warna baru dalam perpolitikan, yang tidak ‘lu lagi lu lagi’ dan ‘gitu lagi gitu lagi’.
PSI bagi saya adalah darah segar, gairah baru, dalam perpolitikan di negeri +62 ini. Anak-anak muda atau yang berjiwa muda yang merupakan arus utama kader maupun simpatisan PSI itu saja sudah merupakan magnet yang luar biasa menarik bagi saya, serasa menemukan habitat yang selama ini saya cari dalam perpolitikan.
Advertisement
PDIP sebenarnya boleh dibilang parpol yang paling dekat dengan –anggaplah- ideologi saya, namun nafas feodalisme yang kental dengan kekuasaan sang Ibunda Megawati yang seolah tak tersentuh itu sudah membuat saya untuk sekedar mendekatpun enggan.
Golkar? Secara psikologis saya punya hambatan besar untuk bersentuhan dengan partai yang di masa lalu identik dengan orde baru itu, begitupun dengan parpol-parpol ‘sempalannya’ seperti Hanura, Nasdem dan Gerindra, atau yang mirip-mirip yaitu Demokrat. Saya tidak mungkin bisa nyaman di habitat seperti itu.
PPP, PAN, PKB? Yah, meskipun ketiga parpol itu tidak pernah menyatakan diri sebagai parpol agama, namun citra basis keagamaan sulit untuk dilepaskan, dan jelas itu juga bukan habitat saya, karena bagi saya politik adalah politik, sedangkan agama adalah urusan pribadi yang paling pribadi, sehingga bagi saya tidak elok membawa-bawa agama ke politik.
Bagaimana dengan PKS? Nah, ini dia … Sebenarnya harus diakui di awal tahun 2000-an dan puncaknya pada pemilu 2004, PKS berhasi mencitrakan dirinya sebagai partainya anak muda. Nyaris tanpa punya tokoh yang bisa “dijual”, pencapaian PSK di pemilu 2004 boleh dibilang fenomenal.